“Kita sahabat, kan?” pertanyaan
itu terlontar begitu saja dari mulut seorang gadis dengan rambut ikal sebahu.
Kedua orang yang duduk di hadapannya memandangnya dengan heran. Keheningan
tiba-tiba saja muncul di antara mereka.
“Tentu aja,” salah satu di antara
kedua orang itu yang berwajah agak bulat dengan rambut lurusnya sepunggung
membuat keheningan itu pergi.
“Yaa, walaupun ga ada perjanjian
tertulis atau sebelumnya kita ga ngucapin ‘sumpah persahabatan’, tapi bagi gue
kalian itu sahabat yang bener-bener sahabat,” gadis yang duduk di sebelahnya
menambahkan.
Gadis berambut ikal itu tersenyum
mendengar jawaban kedua sahabatnya.
“Gue sayang kalian,” ia memeluk
kedua sahabatnya dengan begitu hangat. Kedua sahabatnya pun membalas pelukan
itu sama hangatnya.
“Nov!” merasa dipanggil, seorang
gadis berambut ikal sebahu itu menoleh. Tampak seorang temannya yang bertubuh
mungil dan manis itu sedang berlari ke arahnya.
“Kenapa, Sha?” Novia, gadis yang
dipanggil itu. Sebenarnya nama aslinya adalah Novelia Aristha. Orang tuanya
sangat suka membaca novel dan mereka sendiri juga adalah seorang novelis.
Sayangnya, anak mereka tidak memiliki hobi dan bakat yang sama seperti mereka.
Justru anak mereka itu sangat membenci novel – lebih tepatnya membenci buku –
yang membuat kertas suci dan tak berdosa itu ternodai dengan berbagai tulisan.
Karena itu ia mengubah nama panggilannya – atau mungkin memaksa teman-temannya
memanggil ia – menjadi Novia.
“Anterin gue, yuk!” Risha, gadis
yang bertubuh mungil yang tadi memanggil Novia segera menarik tangan Novia
begitu sudah berada di hadapannya.
“Heh, asal narik aja,” Novia
melepas tangannya dari genggaman Risha. “Emang mau ke mana sih?”
“Bentar doang. Gue mau ngambil
buku tulis MTK gue yang dipinjem temen. Gue lupa nagih kemaren dan gue juga
belom ngerjain PR-nya.” Risha kembali menarik tangan Novia. Kali ini Novia
menurut saja.
“Yee, lagian sih lo. Udah tau tu
pelajaran jam pertama. Udah tau gurunya selalu dateng tepat waktu, tiba-tiba
lagi datengnya. Seengganya lo ngerjain di buku tulis lain gitu kek. Buat
jaga-jaga. Siapa tau temen lo itu ga masuk kan. Lagian lo juga telat mintanya.
Bentar lagi mau bel masuk. Udah tau...” ucapan Novia terhenti begitu saja
ketika ia menyadari Risha menarik dan mengajaknya masuk ke sebuah kelas.
“Sha, gue tunggu di sini aja,”
lagi, Novia melepaskan genggaman Risha dari tangannya.
“Udah sih ayo masuk,” Risha
berusaha meraih tangan Novia, namun gagal. Si empunya tangan sudah terlebih
dahulu menyembunyikan tangannya di balik badannya.
“Ga mau. Lo tau sendiri ini kelas
siapa. Pake maksa gue ke sini pula,”
“Ayo lah, Nov. Gue ga enak nih
masuk kelas orang sendirian.” Risha memohon dan memasang tampang memelas. Bagi
Novia, tampang Risha itu justru terlihat semakin manis.
“Ga mau. Kan nanti di dalem ada
temen lo. Gue tunggu di sini aja ya, ya, yaa . .”
“Ah, elo,” Risha mendesah kesal.
“Yaudah kalo lo ga mau. Tunggu sini ya. Awas aja kalo kabur.”
“Iya, iya tenang aja.” Novia
duduk di bangku panjang depan kelas tersebut. Diam-diam matanya mencari sosok seseorang
di kelas tersebut lewat kaca jendela yang ada di hadapannya. Ia mendesah pelan
ketika tidak mendapati sosok yang dicarinya.
“Hei, Nov,” seseorang dengan
sosok yang kira-kira tingginya tidak berbeda jauh dengan Novia itu menghampiri
Novia. Ia menggendong ranselnya di punggung. Sepertinya ia baru saja datang
sekolah. Novia melirik jam tangan yang ada di tangan kanannya. Jam tujuh kurang sepuluh menit, rekor baru
lebih cepet lima menit, ucapnya dalam hati.
“Nungguin siapa? Nungguin aku
ya?” seseorang itu duduk di sebelah Novia.
“Ah, hem, iya,” Novia menjawab
asal. “Eh, ngga ngga. Aku nungguin Risha di dalem,” ia segera meralat
jawabannya setelah sadar apa yang diucapkannya tadi.
“Oh, kirain nungguin aku, hehe,”
seseorang itu memamerkan deretan giginya yang rapi.
Dia kemudian mengatupkan mulutnya
lagi. Sedikit menimbang-nimbang untuk memutuskan ucapan apa yang akan ia
cetuskan kepada gadis di depannya ini. “Nanti pulang bareng, ya?” tanyanya ragu.
Novia sedikit kaget dengan
pertanyaan yang baru saja dilontarkan orang itu. “Hem, boleh deh. Tapi liat
nanti ya. Nyokap kan kadang udah nungguin aja di depan sekolah tanpa
pemberitahuan,” jawabnya pelan setelah berpikir cukup lama.
“Hem,” tampaknya orang itu
sedikit berpikir.
“Pulang sekolah nanti aku ke
kelas kamu, ya,” orang itu bangkit dari tempat duduknya. “Yaudah aku masuk dulu
ya, mau naro tas.” Novia mengangguk, orang itu pun memasuki ruang kelasnya. Mata
Novia mengikuti gerak orang itu hingga orang itu telah berada di dalam
kelasnya. Lagi, Novia memandang melalui kaca jendela yang ada di hadapannya
itu.
Novia tersenyum sambil terus
memandangi orang itu. Senyumnya semakin tidak wajar saat matanya tak mau lepas
sedikit pun dari sosok itu. Ia tertawa mengingat pembicaraannya tadi, wajahnya
merah merona.
“Hei, ketauan deh!” Risha menepuk
bahu Novia dengan sedikit kencang membuat Novia sedikit terlonjak.
“Het elo! Ngagetin aja,”
“Hehe, maaf deh,” Risha hanya
tertawa dengan cengiran khasnya. Novia bangkit dari duduknya dan segera menuju
kelasnya. Risha mengikuti di sebelahnya.
“Cie yang tadi ngobrol sama Ray,”
Risha menggoda Novia. Yang digoda pun hanya terdiam dengan pipinya yang bersemu
merah. Orang yang tadi itu ternyata adalah Ray. Nama asli Ray sebenarnya adalah
Raihan. Namun ia lebih suka dipanggil Ray, biar keren katanya.
“Cuma ngobrol bentar doang, ga
ada istimewanya.” Novia berusaha untuk bersikap wajar saja. Namun ia justru
malah terlihat tidak wajar.
“Halah, halah. Tapi seneng kan,
haha.”
“Iya sih, ehehe,” akhirnya Novia
pun mengakui. Ia tersenyum lebar yang terlihat seperti cengiran kuda di mata
Risha.
“Emang tadi ngobrol apaan aja
ampe sahabat gue cengar-cengir gini?”
“Dia cuma ngajak pulang bareng
kok,” jawab Novia kalem.
“Hah? Ngajak pulang bareng lo
sebut cuma?” Risha kaget. “Ini pertama kalinya kan dia ngajak pulang bareng?”
“Hem, iya sih. Tapi kan cuma
pulang bareng, apa salahnya? Rumah dia kan juga searah ama rumah gue.”
“Ya, tapi kan...” Risha
mengatupkan mulutnya, batal mengucapkan sesuatu kepada sahabatnya. “Lo udah
jadian sama dia belom sih?” akhirnya pertanyaan itu yang terlontar dari mulut
Risha.
Patut diketahui, Ray dan Novia
sudah hampir 3 tahun PDKT, tapi sampai sekarang belum juga Ray ‘menembak’
Novia. Semua orang menganggap Ray belum punya nyali. Ray pun hanya bisa
cengar-cengir saat orang-orang berkata seperti itu kepadanya. Katanya sih Ray
takut ditolak, ia takut Novia tidak memiliki perasaan yang sama. Padahal
teman-temannya dengan jelas bisa melihat bahwa kedua insan itu saling menyukai.
“Belom,” jawab Novia singkat.
“Nah, justru itu letak
kesalahannya,” Novia mengernyitkan dahinya setelah mendengar apa yang diucapkan
sahabatnya itu.
“Lo belom jadian ama dia, tapi
dia udah ngajak lo pulang bareng. Ini kan mesti dicurigain, siapa tau dia emang
punya perasaan yang sama.”
“Ya kan siapa tau,” ucap Novia
enteng. Sebenarnya ia juga mengharapkan hal yang sama seperti yang diucapkan
Risha barusan.
“Jangan anggap remeh, Nov.
Perasaan cowo itu susah ditebak. Lo liat aja sikapnya ke lo seakan udah
nganggep lo itu pacarnya dia. Padahal dia kan belom ngungkapin perasaannya ke
lo. Kalo kata gue sih dia beneran suka ama lo. Tapiii, lo jangan berharap lebih
dulu ama dia. Mungkin aja dia cuma mainin lo atau cuma sebagai pelampiasaan.
Yaa... pokoknya ati-ati, lah.” Novia tersenyum kecil dengan perhatian Risha
kali ini. Sahabatnya yang satu ini memang benar-benar perhatian terhadap Novia
dan tak jarang itu bahkan terlalu berlebihan.
“Tenang aja Risha Sayaaaang,”
Novia mencubit kedua pipi Risha. Risha cemberut dan mengusap-usap pipinya itu
setelah tangan Novia terlepas dari pipinya. Belum sempat Risha membalas, Novia
sudah berlari masuk ke dalam kelas dan... bel masuk pun berbunyi.
***
“Setelah apa yang tadi Ibu
jelaskan, sekarang Ibu mau kasih kalian beberapa pertanyaan. Tapi yang menjawab
sebelumnya akan Ibu tunjuk,” seorang guru perempuan berkacamata yang kira-kira
usianya telah memasuki kepala tiga itu berdiri di depan kelas. Ia meraih daftar
absen yang ada di atas meja guru. Bola matanya naik dan turun mencari nama yang
akan ia berikan pertanyaan.
“Absen 8, Anggun,” ucapnya, lalu
meletakkan daftar absen itu ke tempatnya semula.
Karena tidak ada jawaban, guru
itu kembali bersuara, “Anggun Cantika Meilana!”
Kelas mulai ramai, murid-murid
meneriakkan nama temannya yang disebut sang guru tadi.
Mulai dari, “Woy, Anggun.”
atau “Anggun mana sih?” atau “Anggun
dipanggil tuh.” hingga “Bu, Anggun tidur!”
Mendengar seruan terakhir, sang
guru segera menghampiri tempat duduk murid yang tadi ia panggil itu. Tentu saja
guru itu mengetahui tempat duduk muridnya yang bernama Anggun itu, karena
seluruh pandangan murid-murid di kelasnya tertuju pada satu arah. Pada seseorang
yang sedang duduk dengan wajah tertunduk di mejanya.
“Anggun, bangun,” teman semejanya
yang sedari tadi mengguncangkan tubuh Anggun pelan tetap gagal dalam usahanya
membangunkan Anggun. Akhirnya, sampai juga guru itu di samping meja Anggun.
Teman semejanya itu menghentikan usahanya, membiarkan sang guru yang
melanjutkannya.
Guru itu mengguncangkan bahu
Anggun perlahan. Namun karena yang diguncangkan bahunya tak bereaksi sama
sekali, guru itu pun mengguncangkan lebih keras. Usahanya memperbesar
guncangannya pada bahu si anak pun tak berhasil juga. Ia mengambil nafas
panjang. Melihat adegan itu, seluruh murid di kelas segera menutup telinga
mereka masing-masing, bahkan ada yang mengumpat di bawah meja.
“ANGGUN CANTIKA MEILANA!!!!”
teriak guru itu dengan seluruh tenaga yang ia punya. Si empunya nama tersentak.
Ia mengangkat wajahnya dengan mata yang masih setengah terpejam dan kesadaran
yang baru setengahnya terkumpul.
“Bangun juga lo,” bisik teman
sebangkunya. Anggun melirik sedikit ke arah teman sebangkunya itu. Lalu matanya
berganti arah menatap pada seseorang yang berdiri di samping mejanya. Di
lihatnya orang itu dari bawah hingga atas dan... Anggun pun membelalakkan
matanya begitu melihat wajah orang itu.
“Abis dari mana tadi kamu?” tanya
guru itu lembut dengan memasang tampang malaikat. Anggun tau dibalik wajah
malaikat itu tersembunyi iblis yang paling kejam di neraka.
“Emm...” Anggun tak berani
menjawab pertanyaan sang guru. Bola matanya berputar pelan tanda ia sedang
gugup.
“Udah berkali-kali Ibu tegur
kamu, tapi kamu masiiih aja ngulangin kebiasaan kamu itu. Sekarang ga ada kata
maaf lagi. Kamu keluar dari kelas sampai pelajaran Ibu selesai!” tampang
malaikat itu menghilang seketika diganti dengan tampang iblis yang benar-benar
murka. Anggun menurut, ia berjalan menuju pintu kelasnya dengan kepala merunduk
karena... mengantuk. Ia berniat pergi ke UKS untuk melanjutkan tidurnya.
Kejadian seperti ini memang sudah
biasa bagi siswa-siswi kelas XII IPA-2. Anggun memang sering tertidur dalam
kelas pada jam-jam pelajaran terakhir. Para guru pun sudah kewalahan mengatasi
kebiasaan anak yang satu ini. Kebiasaan Anggun yang satu ini nyaris menyeretnya
ke ruang BK. Herannya, murid satu ini termasuk anak yang pandai, tak pernah
lupa dengan tugas sekolah, bahkan selalu mendapat nilai yang hampir sempurna
ketika ulangan.
Dari namanya – Anggun Cantika
Meilana – pasti yang ada di bayangan adalah seorang gadis dengan tubuh yang
seperti model, kulit putih, rambut hitam lurus sepinggang, wajah berbentuk oval
dengan hidung mancung, bibir tipis, dan mata yang bulat dengan bola mata
cokelat serta bulu mata yang lentik. Namun bayangan itu buyar seketika saat
melihat bagaimana sosok asli si empunya nama itu.
Anggun Cantika Meilana, gadis
dengan badan yang gemuk tapi berisi, berkulit sawo matang, tinggi badan yang
termasuk kategori pendek untuk ukuran umurnya, serta wajahnya yang bulat. Namun
dari bayangan itu ada juga beberapa yang benar. Ya, hanya beberapa atau lebih
tepatnya hanya sedikit, sangat sedikit. Anggun memiliki mata – yang tidak bulat
dan juga tidak sipit – berwarna cokelat, serta rambut lurus yang sebahu dan
berwarna hitam pekat.
Anggun adalah seorang yang ceria.
Karena sifatnya yang ceria dan supel itu, ia memiliki banyak teman dan mereka
pun sangat suka berada di dekat Anggun. Tentu saja alasan lain mereka adalah
agar bisa mendapat pinjaman PR atau contekan saat ulangan. Mungkin karena
Anggun terlalu baik, ia selalu meminjamkan PR-nya kepada teman-teman sekelasnya
di pagi hari bahkan tak jarang pada teman-temannya di kelas lain. Ia juga
selalu menjawab pertanyaan teman-temannya seputar pelajaran, tentu saja saat
ulangan.
Anggun membuka pintu UKS dan
tanpa ia sadari ia sedikit berlari menuju tempat tidur di dalamnya. Segera ia
menghempaskan badannya pada kasur empuk sedikit keras itu. Ya... meskipun tidak
senyaman tempat tidur di kamarnya, setidaknya ia bisa memejamkan mata sejenak
di sini.
Bayang-bayang itu kembali muncul
dalam benak Anggun. Kejadian yang kira-kira terjadi 1 bulan yang lalu, tepatnya
pada liburan tahun baru. Ia masih mengingat wajah orang itu, namanya, bahkan
suaranya. Ia tersenyum mengingat kejadian itu.
“Eh, gue suka sama lo,” ucap Anggun lalu menoleh kepada seseorang yang
duduk di sampingnya.
Orang itu nyaris saja tersedak dengan makanan yang sedang dikunyahnya
saat itu. Untung saja makanan itu bersabar untuk tidak melewati kerongkongannya
pada saat itu juga.
“Gila,” orang itu lalu menelan makanan yangberada di mulutnya.
“Siapa yang gila?” tanya Anggun.
“Lo,” jawab orang itu singkat. Anggun menaikkan alisnya tanda tak
mengerti.
“Yaiyalah, baru dua minggu gue di sini, tau-tau lo bilang suka,” terang
orang itu.
“Loh, emangnya salah, ya?” tanya Anggun polos.
“Hem, ngga salah sih,” orang itu berpikir keras. “Tapi, ya aneh gitu.”
“Apa yang aneh dari perasaan suka?”
“Yang gue maksud bukan perasaan sukanya. Tapi kenapa secepat itu lo
bisa suka ama gue? Ya walaupun lo bilang kita ini dulu satu SMP dan gue ga
pernah kenal lo, lo juga ngaku ga pernah kenal atau ngeliat gue sebelum ini.
Tapi tetep aja terlalu cepet.”
“Setau gue banyak tuh orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
Mereka baru sedetik ngeliat udah suka, ga disalahin ama banyak orang. Lah
gue...” ucapan Anggun terputus.
“Itu namanya bukan cinta,” potong orang itu. “Itu sekedar suka atau
kagum. Sedangkan lo bilang cinta.”
Anggun mengernyitkan dahinya. “Emang gue bilang cinta?” pertanyaan
Anggun itu membuat orang yang ada di sebelahnya itu menatapnya dengan pandangan
bingung.
“Makanya kalo orang ngomong tuh dengerin.” orang itu semakin bingung
dengan ucapan Anggun.
“Tadi tuh gue bilang kalo gue suka ama lo. Dan tadi pas lo motong
omongan gue, gue mau ngomong kalo gue yang dua minggu baru suka ama lo sebagai
kakak. Gue perjelas, sebagai KAKAK, masa lo salahin.” Anggun memberi penekanan
suara pada kata ‘kakak’ itu. “Lo tau sendiri gue ga punya kakak.”
“Oh,” orang itu bingung, tidak tau harus menjawab apa. “Berarti gue
salah dong?”
“Emang dasarnya lo aja yang geer kali.”
“Hehe, sorry deh.” orang itu hanya mampu tertawa dan menatap Anggun
yang mendengus kesal.
“Oh, iya. Gue minta nomer lo dong, Ray.”
“Neh,” Ray – orang yang sedari tadi itu mengobrol dengan Anggun –
menyodorkan handphone-nya setelah memencet beberapa tombol di handphone-nya tersebut.
“Oke, thanks,” ucap Anggun setelah menyalin angka-angka yang tertera di
layar handphone Ray itu. “Kalo ada
berita apa-apa dari SMP kabarin gue ya,” sambungnya.
“Ye, kalo gitu gue harus minta nomer lo juga, dong.”
“Nanti gue sms kok.”
***
Novia tidak mendapati sosok
Mamanya di depan gerbang sekolah. Ia pun akhirnya pulang bersama Ray. Sebenarnya
saat istirahat kedua tadi Novia menghubungi Mamanya untuk tidak menjemputnya
hari ini – itu pun juga karena Risha memaksa Novia menjalankan idenya ini.
Kebetulan Mamanya juga sedang ada acara. Risha pun tersenyum senang, namun
Novia tersenyum tegang. Ini pertama kalinya ia pulang bersama Ray, naik motor
pula.
Novia dan Ray berjalan berjajar
menuju tempat parkir motor. Selama perjalanan – yang sebenarnya pendek namun
terasa panjang bagi Novia – mereka lebih banyak diam. Novia selalu menatap ke
arah lain. Ia tak berani menoleh ke samping di mana ada Ray yang berdiri di
sebelahnya.
Merasa ada yang bergetar, Ray
merogoh saku seragamnya. Ray mengambil handphone-nya dan memencet beberapa
tombol, lalu sejenak jarinya terdiam dan ia pun tertawa pelan setelah melihat
apa yang tertera di layar. Kemudian jarinya kembali bergerak-gerak lincah dan
kembali ia letakkan handphone-nya di saku seragam.
“Kenapa?” tanya Novia penasaran
yang tadi mengamati gerak-gerik Ray.
Ray menoleh, “Sms dari temen di
Bandung. Katanya tadi dia abis kena tegur guru gara-gara tidur di kelas lagi.”
Jantung Novia mulai berdegup
tidak keruan setelah mendengar jawaban Ray barusan. Bandung? Tidur di kelas? Kata-kata itu menari-nari di otak Novia.
“Emang siapa?” Novia bertanya
dengan hati-hati, takut dianggap oleh Ray terlalu mencampuri urusannya.
“Dulu satu SMP juga ama kita,
namanya Anggun. Kenal?”
Anggun?! Novia menghentikan langkahnya. Saat itu mereka berdua
sedang menyeberangi jalan. Ray yang sedari tadi memperhatikan jalanan,
takut-takut ada kendaraan yang datang tiba-tiba, tak menyadari Novia berhenti
tiba-tiba di tengah jalan. Ketakutan Ray itu terjadi juga. Beruntungnya ia
telah berada di seberang jalan. Namun ia baru tersadar, Novia tak ada di
sisinya. Ternyaa gaadis itu masih berada di tengah jalan dan tak bergerak
sedikit pun.
“Gue udah jadian ama Dhika, dong,” seru seorang gadis kepada dua
sahabatnya. Kedua sahabatnya itu memandang tak percaya kepada dirinya. Ia
menganggap kedua sahabatnya itu ikut bergembira dan terkejut karena akhirnya ia
telah mendapatkan seseorang yang ia idamkan sejak dulu.
Salah. Kedua sahabatnya itu memang kaget dan tak menyangka. Namun
mereka tak menyangka orang yang sama-sama mereka sukai telah menjadi pacar
salah satu di antara mereka bertiga. Sayangnya, kedua sahabatnya itu saling
menutupi perasaan mereka masing-masing.
“Loh kok diem? Novia? Anggun?” gadis itu melambai-lambaikan tangan di
depan wajah kedua temannya. Novia dan Anggun – yang ternyata adalah kedua
sahabat gadis itu – tersentak. Mereka segera tersenyum di depan sahabat mereka
itu.
“Gue seneng kok. Selamat ya akhirnya lo bisa dapetin pujaan hati lo
juga.” Novia memeluk sahabatnya itu.
Setelah Novia melepas pelukannya dari gadis itu, Anggun lalu juga
memeluknya. “Gue juga, Tha.”
Novia melihat itu. Kejadian yang membuatnya kaget untuk kedua kalinya
di hari ini. Diam-diam Anggun menghapus air matanya saat memeluk sahabat mereka
itu. Dari sorot matanya, Novia tau bahwa sahabatnya yang satu ini juga menyukai
orang yang sama. Orang yang Novia sukai, yang kini telah menjadi pacar salah
satu di antara mereka. Novia tersenyum yang terlihat di mata sahabatnya itu
sebagai senyum bahagia walau sebenarnya itu hanyalah sebuah senyum sandiwara.
Tiiiiinn!!!
Suara klakson mobil menyadarkan
Novia dari lamunannya. Novia kaget, namun ia tak dapat bergerak sedikit pun. Ia
hanya mampu menatap mobil yang berada di hadapannya itu. Sekali lagi, sang
sopir mobil itu membunyikan klakson.
Ray sudah ada di samping Novia,
menuntunnya berjalan sambil merangkulnya. Untungnya saja sopir mobil itu telah
menginjak rem sebelum mencapai posisi Novia berdiri. Ray merasa aneh dengan
gadis yang berada di sampingnya ini. Sorot mata Novia yang kosong dan
menyembunyikan perasaan kaget bercampur sedih telah mampu membuat Ray khawatir.
Ray takut terjadi apa-apa dengan Novia.
“Kamu kenapa sih?” tanya Ray
khawatir setelah mereka berada di tepi jalan.
Novia menggeleng pelan. Ia masih
shock. Bukan karena mobil yang hampir menabraknya itu, melainkan karena ucapan
Ray tadi saat mereka menyeberangi jalan.
“Bener gapapa?” sekali lagi Ray
bertanya penuh khawatir. Ditatapnya mata Novia dengan sorot kecemasan.
Novia baru menyadari, sikapnya
yang barusan itu telah membuat Ray cemas. Ia mencoba tersenyum. “Bener kok, aku
gapapa.”
“Yaudah, yuk pulang.” kali ini
Ray menggenggam tangan Novia, takut gadis itu menghilang lagi dari sisinya.
***
“Novia!” panggil Ray dari depan
pintu kelas Novia. Novia yang sedang mengobrol bersama teman-temannya di tempat
duduk paling depan menoleh saat namanya dipanggil. Ia tersenyum mendapati sosok
yang ada di depan pintu kelasnya. Segera ia menghampiri Ray.
“Kenapa?”
“Udah tau kan kabar tentang
reunian SMP?”
“Udah. Sabtu besok kan?”
“Iya. Kamu dateng kan?”
“Hem, pengennya sih. Tapi aku
males ga ada temen barengannya.”
“Yaudah, sama aku aja ya?” tanya
Ray penuh harap. Ia telah menyampaikan maksud kedatangannya ke kelas Novia.
Novia berpikir agak lama. “Hem,
oke deh.”
Ray tersenyum lebar mendengar
jawaban Novia. “Oke, oke. Yaudah, aku balik ke kelas dulu ya. Sorry ganggu,
ehehe.” Ray berlari ke kelasnya. Novia tertawa pelan melihat tingkah Ray.
***
Anggun meraba-raba meja kecil
yang berada di sebelah tempat tidurnya itu saat mendengar handphone-nya
berdering. Dengan kesadaran yang masih separuhnya muncul, ia menekan tombol
berwarna hijau di handphone-nya itu tanpa menatap layar handphone-nya terlebih
dahulu.
“Halo...” ucapnya sedikit tidak
jelas.
“Woy, sorry nih ganggu. Gue mau
kasih kabar nih,” ucap seseorang di seberang sana.
“Apaan?” tanya Anggun, masih
dengan separuh kesadaran yang ia punya.
“Sabtu besok ada reuni SMP
angkatan kita. Nanti kumpul dulu di sekolah, jam 4.”
“Hem,” Anggun merespon singkat.
“Lo bisa dateng ga?”
“Iya,” jawabnya singkat.
“Yaudah, gue cuma mau ngasih tau
itu doang. Jangan lupa ya lo.”
“Hem.” Seseorang di seberang sana
pun memutuskan sambungan telepon itu. Lalu Anggun meletakkan handphone-nya asal di samping
bantalnya.
Anggun kembali menekuni
kegiatannya tadi yang terganggu dengan telepon dari seseorang. Ia kembali
memejamkan matanya, tentu saja untuk tidur. Tidur sudah menjadi kebiasaan
Anggun sejak SMP yang sangat susah dihilangkan. Setiap ada waktu luang ia
gunakan untuk tidur. Tak jarang teman-temannya dibuat heran, kapan gadis yang
hobi tidur ini menyentuh buku pelajaran dan menyentuh tugas-tugas sekolah?
“Reuni SMP, ya?” gumamnya pelan.
Matanya masih setengah menutup, kesadarannya pun belum juga muncul sepenuhnya.
Tiba-tiba saja Anggun
membelalakkan matanya dan terbangun, seolah-olah baru saja mendapatkan mimpi
buruk. “Reuni SMP?” tanyanya heran, entah kepada siapa. Ia cepat-cepat
menyambar handphone-nya yang tadi ia letakkan di sebelah bantal.
“Eh, emang ada reuni SMP?” tanya
Anggun setelah ia mendengar jawaban dari seberang sana.
“Lah, tadi kan lo udah gue kasih
tau.”
“Sorry, gue ga nangkep. Tadi gue
tuh setengah tidur pas lo nelpon, hehe.”
“Dasar, tidur mulu sih lagian.”
“Ya maap. Eh, pertanyaan gue yang
tadi belom lo jawab.”
“Iya, besok sabtu ada reuni SMP.
Kumpul dulu jam 4 di sekolah.”
“Oh, oke oke. Sabtu minggu ini
kan?”
“Iya.”
“Oke, makasih ya, Ray. Sorry, ya.
Hehe.” Anggun menyudahi pembicaraannya di telepon dengan seseorang di seberang
sana yang ternyata adalah Ray.
Anggun mengusap matanya pelan. Ia
terdiam di atas tempat tidurnya. Membayangkan apa yang akan terjadi jika ia
kembali ke Jakarta, jika ia menghadiri acara reuni itu. Jika ia bertemu sahabat
lamanya. Ia menghela nafas panjang. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang
buruk, harapnya.
***
Novia mengintip dari jendela
kamarnya. Di depan rumahnya, terlihat Ray sedang duduk di atas motor sedang menunggunya.
Ia buru-buru menyambar tasnya dan jam tangan serta handphone-nya.
“Ma, aku berangkat dulu,” pamit
Novia kepada Mamanya yang sedang duduk membaca majalah di ruang tamu.
“Iya, hati-hati ya. Jangan pulang
kemaleman,” sang Mama lalu mengantar anaknya hingga ke depan pintu rumah.
Ray tersenyum saat Novia membuka
pagar dan berjalan ke arahnya. Ia lalu menstarter motornya, lalu tersenyum
kepada Mama Novia yang sedang berdiri di depan pintu. Novia menaiki motor Ray
itu, lalu tersenyum juga kepada Mamanya. Sang Mama membalas dengan senyuman
juga. Ia sadar gadis kecilnya kini telah beranjak dewasa.
***
Anggun menatap bangunan yang ada
di hadapannya kini. Sudah lama sekali ia tidak datang ke tempat ini. Sebenarnya
sih tidak terlalu lama, hanya 3 tahun. Namun rasa kangennya pada tempat ini
membuat ia seakan-akan tak pernah datang ke tempat ini lagi selama
bertahun-tahun.
Anggun menghela nafas panjang. Ia
melangkah dengan pasti memasuki pintu gerbang sekolahnya. Sudah banyak orang
yang berkumpul di dekat gerbang sekolah. Ada juga yang berkumpul di masjid
sekolahnya. Matanya mencari-cari sosok yang ia kenal.
“Hei, Anggun ya?” Anggun menoleh
saat ada seseorang yang menyebut namanya. Ia lalu menyunggingkan senyumnya saat
mendapati orang yang tadi menyebut namanya.
“Hei, udah lama ga ketemu,”
serunya.
“Lama apanya, baru juga sebulan,”
sanggah orang itu.
“Sebulan kan juga udah lama. Lo
itung aja, sebulan kan ada tiga puluh hari, terus sehari dua puluh empat jam.
Tiga puluh dikali dua empat kan jadinya...” Anggun menggoyang-goyangkan
jarinya, seakan menulis sesuatu di udara. Mulutnya komat-kamit, dahinya pun
berkerut.
“Wey, serius amat yak,” orang itu
menepuk bahu Anggun pelan.
“Hehe, sorry deh. Lo dateng ke
sini ama siapa? Temen-temen lo yang lain mana?”
“Noh, temen-temen gue lagi
ngumpul ama cewe gue,” tunjuk orang itu pada sekumpulan remaja yang sedang
bersenda gurau.
“Ha? Sejak kapan Ray punya cewe?”
tanya Anggun seolah ingin merendahkan orang itu. Orang itu yang sedari tadi
mengobrol dengan Anggun adalah Ray.
“Sejak tiga tahun yang lalu,”
ucapnya membela diri.
“Sebulan yang lalu kayaknya lo
bilang kalo lo masih jomblo deh,” ucap Anggun sedikit tidak percaya dengan
omongan Ray tadi.
“Boong ding,” Ray nyengir. “Tiga
tahun yang lalu itu PDKT-nya, sekarang sih belom jadian. Tapi temen-temen
nganggap kita tuh udah jadian, hehe.”
“Jah, payah lo. Masa udah tiga
tahun ga bisa ngedapetin juga sih. Emang siapa cewe lo? Alumni kita juga?”
“Iya, sekarang juga satu sekolah
ama gue. Gue ajak ke sini ya pacar ‘boongan’ gue, ehehe,” Ray setengah berlari
ke arah kerumunan yang ia tunjuk tadi. Tampak ia sedikit berbincang sebentar
dengan orang-orang itu, lalu menarik seorang gadis dan mengajaknya ke tempat ia
mengobrol dengan Anggun tadi.
Anggun terkejut saat melihat
gadis yang sedang digandeng Ray itu. Begitu pula dengan gadis itu, ia terkejut
saat melihat Anggun sedang berdiri menatapnya di situ.
“Novia...” gumamnya pelan saat
Ray dan gadis itu mulai mendekat.
“Ini Novia. Sorry gue belum
pernah cerita ke lo,” Ray mengenalkan Novia kepada Anggun.
“Nov, ini Anggun, yang waktu itu
aku ceritain.” Novia dan Anggun hanya terdiam, saling bertatapan.
“Kok diem? Udah saling kenal ya
sebelumnya?” tanya Ray.
“Hem, yaa,” jawab Novia singkat,
ia tersenyum kecut.
“Oh, udah saling kenal toh.
Yaudah ngobrol dong, masa diem aja,” Ray memandangi kedua gadis yang terdiam di
hadapannya itu. Ia bingung melihat aksi diam-diaman kedua gadis itu.
“Hei...” Anggun menyapa Novia dan
sedikit menarik ujung bibirnya. Novia tersenyum dengan senyum yang begitu
dipaksakan.
“Lama ga ketemu,” ucapnya
basa-basi.
“Iya, tiga tahun ya,” kedua gadis
ini seolah kehilangan kata-katanya.
“Udah lama ya ga kumpul kayak
gini lagi, setelah...” ucap Anggun terputus.
“Setelah kejadian itu,” sambung
Novia.
“Iya,” balas Anggun singkat.
Mereka kembali tenggelam dalam diam. Ray membiarkan kedua kawan lama itu
mengobrol. Ia sedang asik bersenda gurau dengan seorang teman di dekatnya.
Anggun menghela nafas panjang.
“Gue ngerasa bodoh. Kenapa cuma gara-gara itu kita bertiga ngejauh ya. Padahal
ga ngomong, ga ada perjanjian apa, eh setelah kejadian itu malah ngejauh dengan
keinginan masing-masing.” Anggun tertawa garing.
“Sama kayak pas kita sahabatan.
Tanpa ada perjanjian kita jadi sahabat, pas pisah pun juga gitu.”
“Kata-katanya Mirtha tuh,” bola
mata Anggun berputar, lalu ia menyadari ada sesuatu yang terasa hilang. “Oh
iya, Mirtha mana?”
Mendengar pertanyaan itu, Novia
tersentak. Ia bingung harus menjawab apa.
“Mirtha... dia ga dateng.” ucap
Novia pelan.
“Oh, emang kenapa?” tanya Anggun
lagi.
“Dia...” Novia menghela nafas. Ia
tak sanggup melanjutkan ucapannya. Perlahan air matanya mulai mengalir. Anggun
sedikit terkejut saat melihat air mata Novia yang mengalir di pipinya itu.
“Nov, lo kenapa?” tanya Anggun
dengan hati-hati. Ia menepuk bahu Ray, meminta pertolongan. Merasa ada yang
menepuk bahunya, Ray menoleh ke samping. Ia kaget saat melihat Novia yang sudah
tenggelam dalam tangisnya.
“Novia...” ucapnya pelan, lalu
perlahan ia memeluk Novia. “Kamu kenapa?”
“Mirtha...” hanya satu kata yang
dapat Novia ucapkan dalam tangisnya.
“Mirtha? Mirtha kenapa?” tanya
Ray lagi.
“Jelasin...” lagi, hanya satu
kata yang dapat keluar dari mulut Novia.
Melihat tampang Anggun yang
kebingungan, Ray segera mengerti apa maksud Novia.
“Lo kenal Mirtha?” tanyanya
kepada Anggun.
“Iya, kenapa? Kenapa sama dia?”
tanya Anggun penasaran.
“Mirtha...” Ray menghela nafas.
Ia tak sanggup melanjutkan ucapannya di depan gadis yang ia sayangi ini.
“Dia udah meninggal,” ucap Ray
lirih. Tangis Novia semakin deras. Sementara Anggun tak percaya dengan apa yang
diucapkan oleh Ray tadi.
“Apa? Meninggal?” tanyanya heran.
“Iya, kecelakaan. Dua tahun yang
lalu.”
“Bohong,” Anggun menatap Ray
tidak percaya. Jelas sekali sorot matanya memancarkan rasa terkejut dan tidak
percaya. “Kenapa ga ada yang ngasih tau gue?”
“Karena ga ada yang tau
keberadaan lo. Lo yang bilang sendiri kalo lo pindah ke Bandung waktu itu ga
ngasih tau siapa-siapa.”
“Tapi...” Anggun tak tau harus
berkata apa lagi. “Lo boong kan?” ia masih tidak percaya dengan kenyataan yang
telah diucapkan Ray tadi.
“Ngapain gue boong. Kalo lo ga
percaya, besok kita dateng ke makam dia.”
“Bohong, bohong,” ucap Anggun
pelan, tangisnya mulai pecah. Ia bukannya tidak percaya dengan Ray, tapi dia
tidak ingin percaya. Dia tidak ingin percaya bahwa Mirtha benar-benar telah
tiada.
Kedua sahabat itu menangis.
Mereka menangisi keberadaan sahabat mereka yang telah tiada di sisi mereka.
Namun apakah ia masih berada di hati kedua sahabatnya itu? Mereka berharap
dalam tangis. Semoga saja status mereka kini tidak berubah menjadi ‘mantan’
sahabat.
***
Anggun melihat seseorang di seberang jalan sedang berdiri dengan
kebingungan di depan sebuah toko. Ia menghampiri orang tersebut, sambil terus
memastikan apakah matanya tidak salah melihat.
“Dhika...” panggilnya pelan. Orang itu menoleh. Ia tersenyum bahagia
seakan menemukan sumber cahaya dalam kegelapan.
“Angguuun! Beruntung banget gue ketemu lo,” Dhika merangkul Anggun
masih dengan wajah yang sumringah.
“Eh, eh, eh. Lo kenapa sih? Main ngerangkul aja,” Anggun melepaskan
rangkulan Dhika dari bahunya.
“Bantuin gue dong, pliiss,” ucap Dhika memohon.
“Bantuin ngapain?”
“Hem, tapi lo jangan ketawa ya?” tanyanya yang diikuti dengan anggukan
Anggun. “Gue nyasar.” lanjutnya dengan volume suara yang sangat pelan.
“Hah? Nyasar? Di kota besar kayak gini?” ucap Anggun tak percaya.
“Iya, gue nyasar beneran.” Dhika menekuk mukanya, kesal.
“Haha, dasar kayak anak kecil aja.”
“Yee, jangan ngetawain gue. Tadinya gue ke sini mau ngasih kejutan buat
Mirtha, kan sekarang dia lagi liburan ke Bandung. Yaudah gue berangkat sendiri,
cuma modal numpang di rumah sodara gue doang ama duit tabungan. Eh pas mau
berangkat ke rumah sodaranya Mirtha malah nyasar gini,” ucapnya kesal sambil
mengingat nasib buruknya hari ini.
“Oh, Mirtha,” ucap Anggun pelan seakan tidak senang.
“Iya, Mirtha,” Dhika meyakinkan. “Makanya, sekarang anterin gue ke
stasiun ya. Plis, ya, ya, ya?”
“Iya deh, iya. Lagian gue kasian ama lo. Mau nyamperin sang permaisuri
tercinta, eh malah nyasar di kota,
haha.”
“Ah, udah jangan ketawa lagi. Ayo buruan keburu sore,” Dhika menarik
tangan Anggun.
“Eh, mau ke mana?” tanya Anggun heran dengan Dhika yang asal
menuntunnya.
“Ke stasiun kan?”
“Yee elo. Udah kesasar masih aja sok tau, ye. Jalannya tuh ke sana.”
Anggun menarik Dhika ke arah sebaliknya. Dhika hanya menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. Benar juga, ia tersasar karena rasa sok taunya yang besar itu.
Di tempat lain, Mirtha yang sedari tadi asik mengobrol dengan seseorang
lewat handphone-nya itu menyadari keberadaan Dhika.
“Noviaaa... Masa di sini ada Dhika,” serunya tak percaya kepada
seseorang di seberang handphone-nya.
“Masa sih? Salah liat kali lo,” ucap Novia, teman mengobrol Mirtha itu.
“Ih, beneran. Gue ga mungkin salah liat. Gue apal banget muka ama
sosoknya Dhika,” Mirtha membela diri.
“Coba lo samperin gih. Ga percaya gue.”
“Iye, ini juga lagi gue samperin,” Mirtha menyeberangi jalan raya yang kebetulan
lampunya sedang merah itu.
“Damn!” umpatnya tiba-tiba saat tak sengaja ia menginjak sebuah batu
yang membuat ia sedikit kehilangan keseimbangan.
Novia teringat akan sesuatu saat mendengar umpatan Mirtha barusan.
DAMN. Dhika, Anggun, Mirtha, Novia. Novia tertawa saat mengingat hal kecil
tersebut. Keempat sahabat yang singkatan namanya menjadi sebuah umpatan. Tapi
itu dulu. Dulu semuanya masih utuh. Tentu saja sebelum kejadian itu terjadi.
Sebuah kejadian yang perlahan menghancurkan persahabatan mereka. Kejadian
yang...
“Dia ga sendiri,” ucap Mirtha sambil terus berjalan menyeberangi jalan
raya yang lebar itu. Ia melihat satu sosok yang berjalan di samping Dhika.
Tampaknya kedua orang itu sedang bercanda. Mirtha menajamkan matanya, berusaha
melihat dengan jelas siapa orang yang berada di samping Dhika tersebut.
Sialnya, orang itu sedari tadi tak juga menampakkan wajahnya ke arah Mirtha.
Sekilas dia dapat melihat wajah orang itu. “Dia sama...” tiba-tiba saja
ucapannya terputus. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Tanpa
sadar, ia justru malah terdiam dalam posisinya saat ini.
Novia yang sedari tadi menunggu lanjutan dari ucapan Mirtha semakin
penasaran.
“Sama siapa?” tanyanya. Mirtha tak menjawab. Pikirannya melayang,
berpikir yang tidak-tidak bahwa Dhika berselingkuh dengan... Anggun? Ia
tenggelam dalam pikirannya, bahkan tak menyadari bahwa lampu lalu lintas telah
berganti warna menjadi hijau.
“Ngga! Ngga!” gumamnya pelan. Ia berusaha membuang pikiran jeleknya
itu.
Samar-samar Novia mendengar gumaman Mirtha itu. “Kenapa sih, Tha?”
“Eh, gapapa, Nov,” balasnya. Ia mulai melangkahkan kakinya, berjalan
menuju seberang jalan.
Terlambat! Seseorang yang sedari tadi menunggu lampu lalu lintas itu
berubah warna menjadi hijau sudah menaikkan kecepatan mobilnya dan akan melewati
bagian jalan sebelah kiri yang kosong dari penyeberang jalan. Tapi bagian jalan
itu kosong sebelum Mirtha melanjutkan perjalanannya. Sekarang di bagian jalan
itu, Mirtha berjalan dengan santainya sambil tertawa dan melanjutkan
pembicaraan dengan Novia.
Mirtha sama sekali tidak menyadari ada mobil yang melaju dengan kencang
ke arahnya. Matanya masih tertuju ke arah Dhika yang mulai menghilang dalam
kerumunan orang-orang. Sayangnya, sang pengemudi mobil itu pun tak sempat
mengurangi kecepatan laju mobilnya. Ia terlambat menginjak rem. Posisi Mirtha sudah
sangat dekat dengan mobilnya saat kecepatan mobil itu masih tinggi.
Kecelakaan tak dapat terhindari. Mirtha jatuh tersungkur dengan darah
segar yang mulai mengalir dari kepalanya. Handphone-nya pun mati karena
terbanting cukup keras. Seketika itu juga pembicaraannya dengan Novia terputus.
Seketika itu juga nyawa Mirtha telah hilang dari tubuhnya. Mungkin memang
inilah takdirnya. Saat inilah waktunya. Ketika sang malaikat pencabut nyawa menjalankan
tugasnya.
- Nna -
Akhirnya selesai juga :D
Ini terisnspirasi dari kegalauan gue kemaren wahaha. Maaf ya ga terlalu bagus dan agak ga nyambung.
Ini yang gue maksud, yang terakhir di 2010.
Semoga karya gue di 2011 makin bagus dan membaik :)
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar