Bintang Untuknya


Saat liburan seperti ini adalah saat yang paling ku nantikan. Aku ingin pergi meninggalkan dunia keseharianku dan menghirup udara segar di tempat lain walau hanya sebentar. Kali ini aku akan menghabiskan waktu liburanku bersama keluarga besar ibuku. Meski hanya ke daerah pegunungan di Bandung, ini cukup bagiku untuk sekedar mencuci mata dan juga pikiran.

Acara ini memang diadakan setiap tahun oleh keluarga besar ibuku di tempat yang berbeda. Satu bulan sebelum liburan aku pun sudah menantikan saat ini. Bisa berkumpul bersama keluargaku dan juga melupakan sejenak semua beban yang ada. Namun aku harus kembali mendesah kesal. Perjalanan kami tidak begitu lancar karena kemacetan yang begitu panjang. Maklumlah hari liburan seperti ini.

Di dalam mobil pun tak banyak aktivitas yang dapat ku lakukan. Di tambah lagi sinyal yang buruk di daerah ini. Semakin bosanlah aku menatap mobil dan motor yang begitu banyak dan kacau itu. Aku tak dapat tidur bila dalam perjalanan. Semua jenis camilan telah aku makan hingga bosan. Muncullah ide konyolku. Aku mengeluarkan handphone dari dalam tas kecilku dan mulailah aku memotret keadaan sekitar. Aku tidak memotret pemandangan alam, namun aku memotret pemandangan kemacetan dengan tingkah manusia yang konyol pada kemacetan itu.

“Hei, De Nayla. Udah gede, ya!” sapa salah seorang saudaraku begitu aku telah sampai di tempat tujuan.
“Iya, dong. Mas Rian juga makin mirip sama...”
“Sama Arie Untung,” sahut saudaraku yang lain.
“Bukan tau. Mirip ama Hudson,” kakakku menambahkan.
“Icha bisa aja sih!” Adrian, atau yang biasa aku panggil Mas Rian mengusap-usap kepala kakakku.
“Eh, tunggu. Sini deh, De,” Mas Rian menarik lenganku dan menyuruhku berdiri berjajaran dengan kakakku.
“Loh, ini adiknya yang mana?” ledek Mas Rian. Kakakku hanya merengut. Aku memang lebih tinggi dibandingkan dengan kakakku.
“De Icha jangan merengut dong,” ledek Mas Rian. Saudara-saudaraku yang lain pun ikut tertawa.

***

Sudah larut malam pukul 24.00. Kami para anak nekat bepergian, berjalan-jalan mengelilingi kota Bandung di malam hari. Dengan membawa dua mobil dan dua saudaraku yang cukup umur yang mengendarai, kami pun berangkat. Kebetulan aku semobil dengan Mas Rian dan kami pun duduk bersebelahan.

Sudah cukup malam. Ralat, bukan cukup namun sudah benar-benar malam. Mataku mulai lelah, namun tak sedikit pun rasa kantuk menyerangku. Aku menatap jalan yang begitu gelap dan sisi-sisi jalan dengan hutan lebat yang membuat keadaan semakin menakutkan.

“Senderan aja, De,” tiba-tiba saja Mas Rian merangkulku. Aku kaget.
“De Nayla ngantuk kan?” aku merasa nyaman dipanggil dengan sebutan ‘De’.
“Ngga, kok,” aku menggelengkan kepalaku pelan.
“Kalau mau tidur, tidur aja. Senderan aja gapapa kok. Lagian katanya masih agak lama kok nyampenya.”

Aku merasa nyaman dirangkul olehnya. Mungkin karena pengaruh lelah juga, tanpa sadar aku menyandarkan kepalaku ke bahunya. Sambil terus berjalan ke atas pegunungan dan masih dengan pemandangan yang gelap, aku merasa nyaman di sisinya.

Setelah berjalan melewati jalan yang berliku menuju ke atas pegunungan, sekarang mobil meluncur ke bawah. Pemandangan yang sangat ‘wow’ membuatku tak bisa melepas pandanganku dari hal itu. Bintang yang ku sukai, yang biasanya muncul di atas, sekarang aku bisa melihat ‘bintang’ dalam bentuk lain dan kali ini muncul di bumi bukan di atas langit. Lampu-lampu rumah dan gedung-gedung itu terlihat seperti bintang dari atas sini.

“De? De Nayla tidur?” tanya Mas Rian yang membuatku mengalihkan pandangan dari pemandangan ini.
“Eh, ngga kok, Mas.”
“Kirain tidur. Aku panggil diem aja dari tadi.”
“Maaf, lagi ngeliatin bintang tadi. Hehe.”
“Aku juga mau nunjukkin kamu itu tadi.” ucap Mas Rian sambil menunjuk ke arah luar jendela mobil.
“Bagus, kan? Kayak bintang ya, De?”
“Iya, bagus banget,” Aku pun kembali memandang bintang-bintang itu. Mataku tak lepas memandangnya. Mas Rian hanya diam dan ikut memandangi bintang-bintang itu juga.

Di sisi jalan yang tadinya adalah pohon-pohon yang menjulang tinggi, sekarang berganti menjadi gedung-gedung yang menjulang lebih tinggi. Kami telah berada di kota, tempat bintang-bintang itu berasal. Mobil kami membelok ke arah sebuah kafe.

Di kafe itu, kami sekedar berisitirahat dan meminum minuman hangat dalam suasana berbeda. Kami semua berbincang dan kadang masih bisa untuk bercanda dan tertawa. Ketika mataku dan Mas Rian tak sengaja bertemu, ia tersenyum padaku. Aku pun membalas senyumnya walau aku lebih sering untuk memandang ke arah lain dan pura-pura tidak melihat.

Saat pulang, saat yang ku nanti. Aku bisa kembali melihat bintang-bintang itu lagi. Ah, tapi aku baru ingat. Jalan pulang adalah jalan berangkat ke tempat ini. Jika tadi turun, maka sekarang naik dan aku tak dapat memandang ke bawah bintang-bintang itu. Huh.

“Kenapa, De?” Mas Rian menyadari raut wajah kecewaku. Aku hanya menggelengkan kepala pelan.
“Ngantuk, ya? Tidur aja,” ia kembali merangkulku. Aku langsung menyandarkan kepalaku di bahunya, sebab aku sudah benar-benar lelah hari ini. Laju mobil yang begitu pelan membuatku terlelap dalam rangkulannya.
“Bagas . . . Bintang . . .” aku bergumam pelan tanpa sadar. Mas Rian hanya tertawa kecil mendengar gumamanku barusan.


“Bagas, ada satu hal yang mau aku tunjukin.”
“Apa, Nay?”
“Liat, deh, ke bawah. Ini bintang spesial bagi aku. Dari dulu aku pengen banget nunjukin bintang spesial ini buat orang yang spesial juga.”
“Emm, terus kenapa yang kamu ajak malah aku?”
“Aduuh, kamu ini pinternya sama pelajaran doang, ya. Masa sama perasaan cewe aja ga ngerti, sih.”
“Jadi, kenapa aku?”
“Ya tentu aja karena . . . orang spesial itu kamu.”


Hah?! Tadi itu apa?
“Tadi kamu mimpi apa, De?” Mas Rian yang menyadari aku terbangun langsung melontarkan pertanyaan itu kepadaku.
“Mimpi?” tanyaku heran.
“Iya, tadi kamu ngomong, emm . . . Bagas, sama . . bintang.”
Hah? Bagas?
“Emm, ga mimpi apa-apa kok. Mas Rian kali yang salah denger.”

***

Esoknya aku dan keluargaku bersiap-siap pulang. Tiga hari di tempat ini terasa cukup lama bagiku. Kejadian semalam itu benar-benar hal yang paling berkesan sekaligus mengherankan bagiku selama liburan di tempat ini. Aku masih heran dengan mimpiku semalam itu.

Aku dan keluargaku melewati jalan pulang yang sama seperti saat semalam aku dan yang lainnya berjalan-jalan. Aku kembali mengingat peristiwa semalam. Mengapa Bagas? Mengapa di saat dekat aku ingin melupakannya dan di saat jauh aku justru malah mengingatnya?

Ah, baru ku sadari. Yang membuatku semakin teringat akan Bagas itu adalah Mas Rian. Perhatiannya, keramahannya, dan kenyamanannya yang membuatku tenang itulah yang sangat membuatku ingat dengan Bagas. Seandainya yang semalam duduk di sebelahku adalah Bagas. Seandainya yang semalam merangkulku adalah Bagas. Seandainya yang semalam tersenyum kepadaku adalah Bagas. Seandainya yang semalam melihat bintang bersamaku adalah Bagas.

Mobil kembali melewati jalan yang sama pada saat malam tadi, ketika pertama kalinya aku melihat bintang yang tampak bukan di langit. Namun kali ini ia tidak menampakkan sinarnya. Ia menyembunyikan diri ketika aku membutuhkannya. Bintang, mengapa kau tak muncul di siang hari?

Bagas, aku sayang kamu . . .


- Nna -


Gue baru inget sama cerita ini -_-
Sebenernya sih udah gue buat November kemaren, buat cadangannya tugas cerpen Bahasa Indonesia gue. Tapi gue baru inget dan baru gue post sekarang, haha.
Ceritanya ga jelas banget sumpah. Bahasanya juga ga keruan. Udah gitu ceritanya terlalu buru-buru lagi. Maklum deh, buatnya sambil ngantuk-ngantuk sih -_-
Kritik dan saran jangan lupa yaa ;D

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible

0 comments:

Posting Komentar