Sesuatu
yang berharga telah hilang
Aku
menginginkannya kembali
Namun
aku tau hal itu takkan kembali
Dia
dan waktu
Dia
ada di depan mataku, ada di sisiku, ada di hatiku
Waktu
terus bergulir di sampingku dan menelan dia
Aku
telah kehilangan waktu bersamanya
Aku
telah kehilangan dia yang dulu
Aku
merindukannya . . .
***
Aku berlari pelan.
Tidak terburu-buru namun aku ingin segera sampai di kelasku. Bukannya aku
terlambat, namun aku tak sabar ingin bertemu dengan sahabatku. Di otakku sudah
terkumpul berbagai pertanyaan yang akan menyerbu sahabatku begitu aku bertemu
dengannya.
“Ilan!” panggilku
begitu aku mencapai pintu kelas. Mataku mencari sosoknya ke penjuru kelas. Aku
pun segera berlari begitu mendapati dia yang sedang asyik bercanda dengan
temanku yang lain.
Lianda, sahabatku itu.
Namun entah mengapa aku lebih suka memanggilnya Ilan. Dialah sahabatku, sahabat
yang paling ku sayang. Sahabatku yang begitu lembut, baik hati, dan penuh
senyum. Di dunia ini Ilan-lah yang paling ku sayangi. Tentunya setelah kedua
orang tuaku dan juga...
Buuk!
“Aaaw!” rintihku pelan.
“Siapa nih yang ngelempar?” teriakku begitu mendapati sebuah bola kasti yang
tadi mengecup pelipisku.
“Eh, sorry! Gue ga
sengaja.” teriak Rendi, salah satu teman laki-laki di kelasku. Nampaknya ia
sedang bermain bersama teman-temannya yang lain. “Lemparin dong, Ray!”
teriaknya.
Aku segera memungut
bola kasti itu yang berada di sebelah kakiku. Aku mengambil ancang-ancang untuk
melemparkan bola itu ke Rendi yang sudah siap menangkapnya. Namun aku segera
mengurungkan niat itu karena tiba-tiba saja muncul Bapak Kepala Sekolah dari
ujung tangga. Aku dan seluruh temanku sibuk berlarian menuju tempat duduk
masing-masing. Ku letakkan bola itu di atas meja Rendi ketika aku melewati
mejanya.
“Lan, gue mau nanya
dong.” ucapku kepada Ilan ketika Bapak Kepala Sekolah telah melewati kelas
kami.
“Nanya apa?” balas Ilan
yang kebetulan tempat duduknya ada di sebelahku.
“To the point aja, ya,
Lan. Lo suka kan sama Rendi?” aku mengecilkan volume suaraku.
“Hah? Rendi? Ga mungkin
lah, Ray.” Ilan menatapku kaget dan tidak percaya.
“Lo jadian ama dia?”
“Hah? Ya ampun, Ray!
Suka aja ngga, gimana mau jadian coba?”
“Tapi lo suka kan ama
dia?”
“Lo kenapa sih, Ray?
Dari tadi pertanyaannya muter-muter aja.” Ilan geleng-geleng kepala. “Gue tau
kok lo khawatir. Tapi tenang aja gue ga akan setega itu. Lagi pula kalau gue
emang suka ama dia gue pasti bakal bilang ke lo.”
Deg!
Ucapan Ilan tadi
membuatku kembali berpikir. Sejak dulu dia memang selalu menceritakan isi
hatinya kepadaku. Dia akan menceritakan segala yang dia alami, siapa laki-laki
yang menempati hatinya, maupun dengan siapa ia saling mengenal dan akrab. Hanya
padaku. Selalu ia ceritakan hanya padaku. Namun, aku rasa aku sudah tak dianggap
sebagai ‘diary’-nya lagi setelah ia mengenal Rendi.
“Hem, iya. Gue percaya
kok sama lo.” aku tersenyum, terlihat tulus namun sebenarnya aku tak ingin
tersenyum saat itu.
***
Aku berjalan gontai
menuju kamarku. Hari ini aku lelah sekali. Pelajaran hari ini begitu banyak,
membuat kepalaku pening. Belum lagi kerja kelompok yang mengharuskan berjalan
ke sana ke mari. Padahal hari ini aku sedang tidak mood untuk belajar. Rasanya sekolah terlalu mengekang. Seandainya bisa
memilih pelajaran yang ingin dipelajari pada hari itu. Tapi ku rasa itu ide
konyol.
Segera ku rebahkan
badan di tempat tidurku yang nyaman. Ku rogoh saku seragamku untuk mengambil
handphone. Ragu-ragu aku mengetik sebuah pesan singkat. Mengetik, berpikir,
menghapusnya, berpikir, lalu mengetik lagi, dan kemudian menghapusnya lagi. Hal
itu ku lakukan berulang-ulang selama kurang lebih 30 menit.
Enat,
aku kangen
Setelah berpikir cukup
lama, aku pun menghapus beberapa kata dari isi pesan singkat tersebut. Saat
akan mengirim pesan tersebut, jariku berhenti bergerak. Aku masih ragu untuk
mengirimnya. Aku memejamkan mata sesaat. Ku hela nafas panjang dan akhirnya ku
tekan salah satu tombol di handphone-ku. Ku biarkan pesan itu terbang dan
hinggap di handphone-nya.
Satu menit bagiku
rasanya seperti 10 menit. Mengapa tak ada pesan masuk dari dia? Aku gelisah,
berharap-harap cemas. Aku tak tau dengan pasti akankah dia membalasnya atau
tidak. Namun aku hanya berharap. Berharap ia membalas pesanku seperti dia yang
dulu. Apakah aku salah jika hanya berharap?
Ah, aku lupa. Sejak
tadi aku belum mengganti baju seragamku. Memikirkannya membuatku lupa akan
segalanya. Ralat. Memikirkannya membuatku tak ingin melakukan segalanya.
Setelah mengganti pakaianku, aku pun segera menghempaskan tubuh di tempat
tidur. Ku raih handphone di sebelah bantal. Lagi-lagi, tak ada pesan darinya.
Aku memejamkan mata, membenamkan wajahku ke bantal dan aku berusaha membiarkan
jiwaku terbang ke dalam mimpi indah.
Satu jam bergulingan di
kasur nyamanku. Aku tak bisa membiarkan diriku terlelap. Berkali-kali aku
berusaha memejamkan mata, namun selalu gagal. Hal itu menguasai pikiranku dan
menguasai tubuhku pula. Aku menatap diriku pada cermin yang tertempel di
dinding di sebelah tempat tidurku. Ah, aku tampak bodoh.
“Rayna!” panggil Mama ketika
tiba-tiba saja beliau masuk ke kamarku. Aku segera bangkit dari tempat tidurku.
“Ya, ampun! Kamar gadis
kok berantakan gini sih?” komentar Mama saat melihat keadaan kamarku.
“Maaf, Ma. Ray capek
banget abis pulang sekolah tadi.”
“Beresin dong, Ray. Mama
titip rumah dulu, ya. Mau pergi, Mama buru-buru. Jangan lupa beresin kamarnya.”
Beliau pun berlalu meninggalkan kamarku.
Sebenarnya kamarku
tidak begitu kacau. Hanya saja banyak buku-buku yang berceceran di lantai
kamarku. Semalam aku iseng mengobrak-abrik rak bukuku dan mengambil buku-buku
yang penuh kenangan ketika aku SD. Aku belum sempat membaca semua buku yang ku
ambil itu dan aku pun belum sempat membereskan semua buku-buku itu.
Kegiatanku terhenti
saat mataku tertuju pada sebuah buku. Buku yang kelihatannya tidak istimewa.
Buku itu sudah agak lusuh termakan usia dan di covernya terdapat beberapa
coretan. Ana dan Enat. Tulisan di
cover itu lah yang membuatku tertarik untuk membacanya.
Aku membuka lembar
pertama. Ku lihat tulisan seorang anak kecil. Aku mencoba mengingat masa lalu.
Ini adalah buku harian milikku dan juga Enat. Dulu ketika masih SD, aku dan dia
sering kali bercerita dan berkirim pesan lewat buku ini.
Tanganku berhenti
membalikkan kertas saat aku menemukan sebuah tulisan. Tulisan Enat ketika masih
kecil. Tulisan yang mampu membawaku terbang jauh ke masa lampau. Tulisan yang
membuatku semakin merindukannya.
Ana,
Enat kangen sama Ana. Enat pengen main bareng sama Ana lagi. Enat pengen liat
senyum Ana lagi. Maafin Enat, Ana jangan ngambek lagi. Enat sayang kok sama
Ana.
Enat. Dialah sahabat
pertamaku, laki-laki pertama yang dekat denganku, tentunya selain Papa. Dia
yang selalu menjagaku, menemaniku di saat sepi, menyemangatiku di saat sedih.
Dia yang selalu memberikan senyumnya padaku di saat sedih sekali pun. Namun itu
semua telah hilang. Tak ada lagi sosok laki-laki yang sudah ku anggap sebagai
kakak. Tak ada lagi senyum istimewa untukku. Ia telah...
Byar!
Tiba-tiba saja film
singkat tentang masa kecilku itu berhenti berputar. Sebuah suara yang membuatku
tersadar. Dering handphone-ku membuatku kembali ke dunia nyata.
“Halo...” ucapku pelan.
Jiwaku belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata.
“Raynaaaa, gue butuh
bantuan lo!” tiba-tiba saja suara itu menyerang telingaku. Rendi, pikirku begitu mendengar suara si penelepon.
“Kenapa?”
“Gimana caranya nembak
orang?”
“Hah? Gila lo? Sejak
kapan lo punya jiwa pembunuh kayak gini?”
“Bukan! Bukan nembak
pake pistol maksud gue. Tapi itu...emm...”
“Apaan, wey?”
“Ngajak jadian.”
“Oh, mau ngajak ke
mana?”
“Ray, gue serius! Kok
lo jadi lola gini sih?”
“Eh, maaf. Maklum udah
sore, hehe.”
“Apa hubungannya deh.”
“Lupakan.” ucapku. “Lo
tadi ngomong apa? Ngajak siapa buat apa?”
“Gue mau nyatain
perasaan gue ke Lianda, tapi gue bingung gimana ngomongnya. Lo bisa bantu gue
kan? Kan lo sahabat gue.” Aku menangkap arti lain dari ucapan Rendi yang
terakhir. Kan kamu sahabat Lianda. Kata-kata
itu berputa-putar dalam pikiranku.
“Sorry, Ren. Untuk kali
ini gue ga bisa bantu lo.”
“Kenapa?” aku mendengar
nada heran dari suara Rendi di seberang sana.
“Gue ga punya
pengalaman dalam hal nyatain cinta, Ren. Lagi pula dalam hal ini sebaiknya lo
berusaha sendiri.”
“Tapi...”
“Maaf, Ren. Gue ga bisa
bantu. Udah dulu, ya. Gue dipanggil nyokap. Bye, Ren. Selamat berjuang!” aku
sedikit berbohong kepada Rendi. Aku tak akan sanggup melanjutkan percakapan
itu.
Lianda, lagi-lagi nama
itu yang terucap. Aku tak pernah memanggilnya dengan nama itu lagi, tentunya
setelah kejadian itu menimpaku. Tapi, setelah Rendi mengucapkan nama itu, aku tersadar.
Selama ini aku tak pernah menerima kenyataan, aku hanya berlari menjauhi
kenyataan itu.
Tak terasa langit telah
berubah menjadi gelap. Hawa dingin telah memasuki kamarku melalui celah-celah
ventilasi udara. Aku duduk di hadapan meja belajarku. Ku pejamkan mata. Aku harus mempercayai kata-kata Ilan.
Aku terus mengucapkan kata itu dalam hati.
Ku tatap langit melalui
jendela kamar yang ada di hadapanku. Bintang-bintang bertebaran, namun bulan
tak menampakkan sinarnya. Bintang, bantu
aku menemukan bulan. Aku tau ia bersembunyi di balik sana. Ku pejamkan mata
menikmati suara gemerisik daun yang bergesekan tertiup angin.
***
“Lianda jadian ama
Rendi.”
“Hah?!” aku hampir
tersedak dengan minuman yang berada di mulutku tadi. Namun untung saja Dita,
temanku itu, mengatakan hal tersebut ketika air telah seluruhnya melewati
kerongkonganku.
“Serius lo, Dit?”
tanyaku heran.
“Yap!” jawab Dita
disertai dengan anggukan yang begitu bersemangat.
“Kapan?”
“Gosipnya sih udah lama
banget. Tapi gue nanya ke Lianda katanya mereka baru resmi jadian minggu lalu.”
Dita membuka mulut
kembali, ingin mengucapkan sesuatu. Namun aku segera berlari meninggalkannya
yang sedang menatapku dengan heran. Saat ini yang ada di otakku hanyalah Ilan,
Rendi, dan juga Enat. Aku kecewa dengan Ilan, bukan karena ia berpacaran dengan
Rendi, tapi karena aku mendengar berita itu dari mulut orang lain bukan dari
Ilan sendiri. Aku tak habis berpikir, bagaimana perasaan Enat jika mendengar
hal ini?
“Ilan!” panggilku
ketika aku mendapati dia yang sedang ikut berkumpul dan bercanda dengan
teman-temanku yang lain. Aku segera menarik dia ke tempat yang agak sepi. Aku
merasakan Rendi sedang memperhatikan gerak-gerik kami dari dalam kumpulan
teman-temanku itu.
“Lan, jawab pertanyaan
gue sejujurnya tanpa basa-basi. Lo jadian kan ama Rendi?” aku mempertegas
ucapanku tapi aku tetap memperkecil volume suaraku. Aku tak ingin menjadi pusat
perhatian orang-orang.
Ilan hanya diam. Dari
sorot matanya aku tau, diamnya itu berarti ‘iya’.
“Gue ga nyangka, Lan.
Gue kecewa.” Ilan terdiam.
“Gue ga ngelarang lo
buat suka ama dia atau pacaran ama dia. Tapi gue ngelarang lo kalo lo ga pernah
cerita lagi ama gue!”
“Gue takut nyakitin
hati lo.” ucapnya pelan.
“Tapi gue lebih sakit
kalo lo diem gitu, Lan!” ucapku cukup keras. “Lo tau sendiri, bagi gue perasaan
sahabat gue lebih penting dari pada rasa cinta gue ke cowok.” aku kembali
mengecilkan volume suaraku.
Ilan menatapku dengan
matanya yang berkaca-kaca. Ia tak sanggup berkata-kata, begitu juga denganku
yang tak bisa berpikir lagi. Kami berdua terdiam cukup lama.
“Gue sadar, gue emang
ga bisa terima kenyataan ini.” aku membuka suara. “Tapi pikirin perasaan Enat,
Lan.” ucapku hati-hati. Aku kembali diam.
“Gue kehilangan
seseorang. Gue kehilangan Ilan yang dulu.” Aku segera berlalu dari tempat itu
membiarkan Ilan yang mulai tenggelam dalam tangisnya. Perih di hati ini membuat
rasanya menyebar hingga ke sekujur tubuhku.
Aku berjalan menuju
perpustakaan. Tempat itulah yang selalu menjadi tempat pelarianku setiap aku
membutuhkan ketenangan. Di tempat itu jarang sekali ada murid yang
mengunjunginya. Ini membuatku menjadikan perpustakaan sebagai salah satu tempat
favoritku di sekolah.
Di antara rak-rak buku
tersebut yang penuh sesak dengan buku, aku mulai menitikkan air mata. Aku tak
sanggup lagi memendam ini semua. Seluruh rasa kesal, kecewa, dan juga sedihku
berkumpul menjadi sebuah tangisan.
“Enat...” gumamku pelan
saat aku menemukan satu sosok yang sedang duduk di hadapan meja dengan sebuah buku
di atasnya. Ku hapus air mataku sebelum aku menghampirinya.
“En...” aku ragu
memanggilnya. “Reynad...”
Dia mendongakkan
kepalanya perlahan. “Hei.” sapanya. “Ray...na.”
Aku terdiam mendengar
ucapannya. Rayna? Ke mana panggilan Ana yang sering ia gunakan sejak kecil?
“Boleh duduk di sini?”
aku menunjuk sebuah kursi yang ada di hadapannya. Ia mengangguk pelan.
“Rey, aku mau ngomong.”
Enat menutup buku yang
sedang dibacanya. “Ngomong apa?”
“Udah tau tentang
Ilan?” aku bertanya dengan hati-hati.
“Udah.”
“Terus?”
“Biarin aja, itu hak
dia.”
Kami terdiam.
“Rey, tentang masalah
itu...”
“Jangan ngomongin itu
lagi, Ray.”
Kami kembali terdiam.
“Sebenernya yang ga
bisa terima kenyataan ini aku atau kalian?”
“Aku udah bisa terima
ini semua kok.” aku merasa tersinggung atas jawaban Enat.
“Tapi seengganya aku ga
berubah kayak kalian.”
“Aku berubah? Biasa aja
ah, Ray.”
“Kamu udah ga nganggep
aku sahabat kamu.”
“Kamu selalu jadi
sahabat aku kok.”
“Tapi kamu berubah,
bukan Reynad yang dulu.”
“Apa sih yang berubah
dari aku?”
“Ya... Pokoknya kamu
berubah. Kamu udah ngelupain aku. Kamu udah...”
“Ray!” ucapnya memotong
omonganku. “Aku ya aku. Aku tetap Reynad yang dulu. Kenapa sih kamu ga bisa
nerima aku apa adanya?”
“Aku ga bisa terima
kamu yang sekarang dan aku ga bisa terima kenyataan saat ini!” bentakku. Keadaan
hatiku yang cukup kacau membuatku menjadi mudah terbawa emosi. Lagi-lagi, kami
tenggelam dalam diam.
“Reynad udah ga ada.”
aku bergumam pelan namun masih terdengar olehnya. Ia tersentak mendengar
ucapanku tadi.
“Asal kamu tau aja,
kamu selalu ada di hatiku, kamu selalu aku anggap sahabatku. Dan aku selalu
merindukan Enat.” aku bangkit dan berlalu meninggalkan perpustakaan juga Enat
dalam kesendiriannya.
Aku terdiam di depan
sebuah kelas yang sudah tak terpakai lagi. Di depannya ada sebuah taman kecil
dengan sebuah pohon yang besar dan semak-semak yang tak terurus. Aku menikmati
kesendirianku saat itu. Ku nikmati angin yang mengusap pipiku dengan lembut dan
ku pejamkan mata sambil berkata dalam hati. Angin,
sampaikan padanya bahwa aku merindukannya.
Untuk seterusnya, Ana
dan Enat hanya akan menjadi sebuah kenangan dalam pikiran dua sahabat kecil.
- Nna -
Sebenernya ini tugas cerpen Bahasa Indonesia, tapi iseng gue post hehe.
Karena ada batas halaman jadi ga nyambung, Tapi cerpen-cerpen gue emang ga nyambung sih -_-
Yaa semoga suka deh. Kritik dan sarannya diterima kok :)
ABOUT THE AUTHOR
Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Posting Komentar